Oleh: Antonius Andi Wasianto (Penyuluh Agama Katolik Fungsional)
Bapak, ibu dan saudara-saudari yang terkasih,
Bacaan Injil hari Minggu ini diambil dari Lukas 14:25-33. Konteks dari bacaan Injil tersebut adalah persyaratan untuk bisa menjadi murid Yesus. Menjadi murid atau pengikut Yesus tidaklah mudah. Ada syarat yang harus dipenuhi dan itu sangat tidak mudah. Bahkan kalau kita tidak tahu konteksnya, bisa gagal faham. Oleh sebab itu mari kita lihat teks dan konteksnya dari bacaan injil tersebut.
Pertama, dalam ayat 25 dikatakan: banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus. Pertanyaannya; apakah dengan berduyun-duyun mengikuti Yesus itu otomatis sudah bisa diklaim menjadi murid Yesus semuanya? Saya rasa tidak. Bisa jadi mereka hanya datang karena ingin tahu atau ingin melihat mukjizat penyembuhan atau mendengar ajaranNya atau alasan lain. Bahwa ada beberapa orang bersimpati dan mau menjadi simpatisan pengikutNya mungkin iya, tetapi tidak semuanya. Ini terbukti pada saat Yesus sengsara dan disalibkan, kemanakah mereka yg berduyun-duyun itu? Adakah yang membela? Tidak ada. Menjadi pengikut Yesus itu sangat berat karena dibutuhkan pengorbanan yang total. Dan itu disampaikan Yesus pada ayat-ayat berikutnya.
Kedua, barang siapa tidak membenci bapanya, ibunya, saudaranya, istrinya, anak-anaknya bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu, kata Yesus. Hati-hati dengan ayat ini. Kalau salah faham maka bisa terjerumus pada faham yang salah. Konteks ayat ini adalah kemuridan Yesus di awal karyaNya di mana banyak orang yang belum tahu apa, siapa dan bagaimana Yesus itu. Mereka berpikir bahwa Yesus datang sebagai pengajar, guru, atau nabi, sama seperti guru-guru dan nabi-nabi terdahulu. Dengan pernyataan di ayat 26 itu Yesus mau menegaskan bahwa Ia berbeda dengan nabi-nabi yang terdahulu. Membenci orang tua, anak, istri, bahkan nyawanya sendiri maksudnya adalah ketika kita dihadapkan pada dua pilihan antara tetap mengikuti Yesus atau mengikuti orang tua, anak, istri dan ego kita sendiri, maka pilihan harus tetap pada yang pertama, tetap ikut Yesus. Prinsip ini sebetulnya juga ada di setiap agama: pilih mempertahankan imannya atau pilih kehendak orang tua dan kerabatnya? Pilih tetap teguh pada imannya atau dibunuh (menjadi martir/sahid)? Pilihanya sudah jelas kan, tetap teguh pada iman, meski harus terpisah dari keluarga bahkan dibunuh. Dan itu sungguh terjadi, pada masa kekristenan awal banyak orang menjadi martir karena keteguhan imannya. Lebih baik mati menjadi martir dari pada harus menyangkal imannya. Butuh pengorbanan yang total dan habis-habisan untuk menjadi pengikut Yesus, itu intinya.
Ketiga, karena menjadi pengikut Yesus itu berat, orang harus faham betul ia harus apa dan bagaimana. Maka diibaratkan dengan orang yang akan membangun rumah atau mau maju perang. Harus mempertimbangkan dan menghitung betul apa-apa saja yang diperlukan, apa untung ruginya, apa resikonya, apa targetnya dan sebagaianya. Jangan sampai sudah terlanjur bangun rumah tetapi berhenti di tengah jalan. Sudah “kadung” maju perang ternyata kalah. Maksudnya…jangan sampai terlanjur menjadi orang beriman, lalu berhenti di tengah jalan atau “mogol” atau menjalaninya dengan setengah hati. Kalau menjalani agama dengan setengah hati apalagi berhenti, akan ditertawakan banyak orang. Itu sebabnya mengapa mau jadi katolik saja kok repot dan ribet, harus ikut pelajaran calon babtis selama setahun full. Ya itu, supaya tidak setengah-setengah alias mogol seperti orang bangun rumah yang tidak tuntas itu. Itu maksudnya.
Akhirnya disimpulkan, yang tidak bisa melepaskan diri dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu (ay 33). Artinya, yang masih terikat pada hal-hal duniawi dan egoisme pribadi, sulit untuk dianggap menjadi murid Yesus. Ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh punya apa-apa dan menjadi orang miskin, bukan itu, tetapi kita tidak boleh terikat atau tergantung pada apa yang kita miliki. Semua hal adalah milik Tuhan dan kita berikan sepenuhnya untuk memuliakan Tuhan. Ad maiorem Dei Gloriam, semua untuk kemuliaan Tuhan, kata St. Ignatius Loyola. Melepaskan diri dari harta milik artinya menomorsatukan Tuhan dari apapun yang kita miliki, dan hanya dengan cara itu kita akan disebut murid yang sejati. Terimakasih. Berkah Dalem.