Oleh: Antonius Andi Wasianto,SS (Penyuluh Agama Katolik Fungsional)
Bapak, ibu dan saudara-saudari yang terkasih, Injil Minggu ini diambil dari Luk 20:27-40. Mengisahkan tentang beberapa orang Saduki yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Beberapa poin penting yang saya petik dari perikop tersebut, antara lain:
Pertama, pertanyaan orang saduki itu cukup cerdas, kritis dan sulit dijawab. Saya juga sering mendapatkan pertanyaan itu. Pak…kebangkitan badan setelah mati itu bagaimana to? Saya jawab: Mboh…saya tidak tahu, wong saya belum pernah mati. Jawaban sederhana saya begitu. Jawaban seriusnya? Ya simak dan perhatikan baik-baik jawaban Yesus pada injil Minggu ini. Yang intinya begini: Dunia orang mati itu tidak sama dengan dunia orang hidup, yang sibuk dengan masalah perkawinan (keluarga), tidak bisa mati lagi (hidup kekal) dan menjadi sama seperti malaekat dan menjadi anak-anak Allah. Pertanyaan selanjutnya adalah: Malaekat dan Allah itu apa atau siapa? Malaekat dan anak-anak Allah itu adalah roh. Wujudnya roh atau bersifat rohani, bukan fisik atau jasmani. Kalau wujudnya roh, apakah roh butuh makan, minum, kawin? Tidak. Ya sudah… ngapain harus berpikir soal kawin mawin? Berarti badan tidak ikut bangkit dong? Ikut bangkit atau tidak, urusan badan itu bukan hal yang prinsip. Yang prinsip adalah urusan jiwa, keselamatan jiwa-jiwa untuk orang yang sudah menghadap Tuhan. Tetapi dalam syahadat ditegaskan: Aku percaya akan pengampunan dosa, kebangkitan badan, kehidupan kekal. Artinya apa? Kita harus mempercayai akan adanya kebangkitan badan. Kalau tidak percaya? Kita bukan orang kristiani, tetapi orang Saduki.
Kedua, dalam iman ada yang disebut dengan istilah misteri ilahi, hanya Allah yang tahu. Kematian, kebangkitan dan akhir jaman masuk dalam misteri ilahi itu. Kalau itu disebut misteri, maka tidak bisa dijelaskan dengan nalar. Tidak bisa dibahas. Kita hanya bisa mengimaninya dan mempercayainya. Iman akan apa? Iman akan Allah yang hidup, bukan Allahnya orang mati, dan semua orang dihadapanNya akan menjadi hidup (ay 38). Dengan kata lain, kita akan tetap hidup meski dalam dimensi yang berbeda. Ini pula yang menjadi dasar atau alasan mengapa Gereja Katolik tetap mempertahankan tradisi doa arwah. Bahkan secara khusus mengadakan doa/misa arwah, baik secara pribadi maupun bersama. Mengapa? Karena orang yang sudah mati maupun orang yang masih hidup memiliki hubungan batin yang sama. Apakah kakek nenek, bapak ibu, saudara saudari kita yang sudah meninggal lalu kita anggap sudah bukan orang tua dan saudara kita lagi? Apakah lalu berubah menjadi bekas orang tua kita dan tidak mau mendoakan mereka? Bisa kuwalat kita.
Ketiga, badan dan jiwa itu satu paket yang hanya bisa dipisahkan dengan kematian. Mau tau caranya mengetahui jiwa kita? Gampang. Pejamkan mata anda, lalu bertualanglah bersama jiwa anda itu ke mapapun Anda suka. Kenangkan orang tua atau sanak saudara Anda yang jauh, maka jiwa Anda bisa bertemu dengan mereka. Badan kita di sini, terkungkung dalam ruang waktu, ada dalam sebuah kamar. Tetapi Jiwa kita bisa melanglang buana tanpa batas. Dalam konteks filsafat, hubungan badan dan jiwa, jasmani dan rohani sering digambarkan demikian itu.
Keempat, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus adalah pokok iman kristiani. Yesus telah bangkit, haleluya. Ini puncak iman kita. Kalau kebangkitan Kristus menjadi puncak iman, maka seharusnya tidak ada keraguan lagi bahwa kelak kita juga akan dibangkitkan. Pertanyaan orang Saduki ketika Yesus masih hidup, terjawab sudah dengan peristiwa kebangkitan Yesus sendiri. Bagaimana dengan kita sebagai pengikut Yesus? Sama. Kita juga akan bangkit bersamaNya. Apakah ada hal yang lebih penting dari itu? Saya rasa tidak. Bangkit dan hidup mulia bersama Tuhan Yesus di surga adalah segalanya. Tuhan memberkati. (AW)