Oleh Antonius Andi Wasianto,SS (Penyuluh Agama Katolik Fungsional)
Bapak, ibu dan saudara-saudari yang terkasih,
Injil Minggu ini diambil dari Luk 11:9-14. Mengisahkan perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai. Konteksnya adalah doa. Mana doa yang benar dan mana doa yang salah. Mana yang diterima Tuhan, mana yang ditolak Tuhan. Untuk lebih jelasnya, saya akan membagi penjelasan ini menjadi tiga bagian yakni orangnya, cara berdoanya dan isi doanya. Yuk….Mari kita cermati bersama.
Pertama, orangnya atau orang yang berdoa yakni orang Farisi dan pemungut cukai. Siapa mereka itu? Bapak ibu mungkin pernah mendengar teori Cifford Geertz, seorang Antropolog Amerika yang mengklasifikasikan masyarakat Muslim Jawa menjadi tiga kelompok yakni; priyayi, santri dan abangan. Nah, orang-orang Farisi itu kira-kira masuk kelompok priyayi. Orang yang kedudukannya terpandang, disegani dan dihormati dalam masyarakat Yahudi. Ahli-ahli Taurat dan para imam itu masuk kelompok santri, tokoh agama sekaligus tokoh masyarakat. Sedangkan masyarakat biasa atau masyarakat kelas bawah yang tidak terlalu taat dalam menjalankan hukum Taurat, termasuk orang-orang Samaria, disebut abangan. Kira-kira seperti itu. Jadi jelas ya, sebagai kaum priyayi, orang Farisi merupakan golongan masyarakat Yahudi kelas atas. Sangat dihormati. Bagaimana dengan pemungut cukai? Saya balik tanya. Apa pendapat atau kesan Anda ketika mendengar kata debt colektor atau bank plecit? Positif atau negatif? Umumnya kesannya negatif, karena mereka menagih utang dengan cara paksa. Nagihnya benar, caranya yang salah. Nah…di mata masyarakat Yahudi, pemungut cukai itu juga dipandang demikian. Dipandang negatif oleh masyarakat. Semoga gambaran ini jelas. Yang satu (Farisi) orang yang sangat dihormati, yang satunya (pemungut cukai) orang yang sangat tidak disukai.
Kedua, cara berdoanya. Meskipun orang Farisi dan pemungut cukai itu sama-sama berdoa dengan cara berdiri, tetapi menunjukkan adanya sikap yang bertolak belakang. Orang Farisi itu berdiri di depan dengan pongah, sombong dan jumawa, sedangkan pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, menundukkan kepala dan tidak berani menengadah ke langit, bahkan memukuli dirinya sendiri. Orang Jawa bilang; tebah-tebah dada. Saya tidak tau apakah tradisi kita memukul-mukul dada pada saat mengucapkan doa tobat: saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa, itu bersumber dari sikap dan tindakan pemungut cukai itu. Saya tidak tahu. Yang jelas tebah-tebah dada merupakan simbol penyesalan diri yang total atas dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa sikap atau cara berdoa ternyata juga diperhitungkan oleh Tuhan. Dilihat oleh Tuhan dan dinilai mana sikap yang benar dan mana sikap yang kurang benar ketika kita berdoa.
Ketiga, isi doanya. Secara umum sebetulnya isi doa orang Farisi itu tidak seluruhnya salah. Aku mengucap syukur padaMu ya Tuhan, bagus. Bahkan sangat bagus, karena biasanya orang berdoa itu yang diutamakan hanya memohon, menohon dan memohon, lupa bersyukur. (Pokoknya aku banget lah.. waktunya mohon semangat, waktunya terimakasih lupa). Aku bukan perampok, bagus. Aku bukan orang lalim, bagus. Aku berpuasa dua kali seminggu, bagus (eh….puasa dua kali seminggu itu apa puasa Senin Kemis ya? Yang tahu silahkan japri dong). Aku rutin memberi persepuluhan, bagus (eh…saya sepersatu aja mungkin nggak ada lho, swer..). Nah…semua itu bagus. Sangat bagus bahkan. Hanya sayang ada satu kalimat yang meruntuhkan semua yang bagus-bagus itu. Aku tidak sama seperti orang lain, khususnya tidak seperti pemungut cukai ini. Dus… di sini letak kesalahan fatalnya. Merasa diri paling suci, paling benar, paling taat, paling dermawan, dan secara terang-terangan menunjuk orang lain sebagai orang yang salah dan berdosa. Kesombongan rohani orang Farisi inilah yang meruntuhkan segala kebaikan yang telah ia lakukan. Doanya ditolak Tuhan. Sedangkan si pemungut cukai, yang dicap sebagai orang tidak baik, justru dibenarkan oleh Tuhan karena dengan rendah hati mau menyadari diri sebagai orang berdosa: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Hanya satu kalimat, tetapi persis menyentuh prinsip dasar orang beriman yakni pertobatan dan kerendahan hati. Kesimpulannya…tidak perlu ada kesimpulan karena semuanya sudah jelas dan mudah difahami. Terimakasih. Berkah Dalem (AW).