Oleh: Antonius Andi Wasianto,SS (Penyuluh Agama Katolik Fungsional)
Bapak, ibu dan saudara-saudari yang terkasih,
Injil Minggu ini diambil dari Luk 17:5-10 yang berbicara tentang biji sesawi, tuan dan hamba. Bacaan ini pendek, tetapi agak sulit untuk difahami kalau kita tidak tahu konteksnya. Oleh sebab itu saya selalu menekankan bahwa untuk memahami sebuah teks harus tahu dulu konteksnya. Konteks perikop tersebut ada pada ayat 5; “Tuhan….Tambahkanlah iman kami”, atau dalam bahasa sederhana: “Tuhan…bagaimana caranya supaya kami semakin beriman kepadaMu”. Itu Konteksnya. Apa Jawab Yesus? Agak sulit untuk difahami. “Kalau kamu punya iman sebesar biji sesawi saja, kamu bisa memindahkan pohon ara itu ke laut”. Apa maksud dari kalimat itu? Mari kita simak. Iman dan kepercayaan itu bisa mengubah segalaya. Yang tidak mungkin menjadi mungkin. Yang tidak bisa dinalar menjadi masuk akal. Yang sulit menjadi mudah, kalau kita sungguh-sungguh beriman. Masalahnya adalah menumbuhkan iman dan kepercayaan itu sangat tidak mudah. Biasanya yang dominan dalam diri kita adalah akal, nalar dan pikiran. Yang muncul dalam bentuk ungkapan; apa mungkih sih? apa iya sih? Apa benar sih? Masak iya sih? Buktinya mana? Logikanya bagaimana? Dan seribu ungkapan ketidakpercayaan dan keragu-raguan lainnya. Oleh sebab itu Yesus seakan-akan mengatakan: Aku tidak menuntut kamu punya iman sebesar gajah, tetapi cukup kecil saja, sekecil biji sesawi, itu sudah bagus. Itu sudah cukup. Mengapa Yesus mengatakan itu? Karena mengajak orang beriman dan percaya kepadaNya itu tidak mudah, khususnya kala itu, di kala Yesus masih merintis jalan mewartakan Kerajaan Allah di kalangan orang-orang Yahudi. Itu konteksnya.
Lalu bagaimana dengan kita sekarang? Sebesar apakah iman kita sekarang? Ya mari balik bertanya, apakah kita sudah mampu memindahkan pohon ara ke laut? Belum. Ya sudah, kalau belum mampu artinya iman kita belum sebesar biji sesawi. Masih sangat kecil. Masih sangat lemah. Masih jauh dari sempurna. Adakah di antara kita yang berani menyombongkan diri dan mengatakan; imanku sudah sebesar biji salak. Saya yakin kok tidak akan ada yang berani. Nah…kesadaran bahwa iman kita itu masih kecil, masih lemah, sebesar biji sesawi pun belum ada, itulah tanda kerendahan hati. Tanda bahwa kita masih dalam proses beriman. Proses menuju kedewasaan iman. Sampai kapan? Ya sampai paripurnya hidup kita. Sampai maut menjemput kita. Iman sebesar biji sesawi juga bisa dimaknai bahwa iman itu sulit diukur besarnya. Gak percaya? Silahkan ukur, saya jamin pusing sendiri. Yang mau saya katakan adalah iman tidak perlu diukur, tetapi hanya perlu dibuktikan. Dibuktikan dalam tindakan nyata hidup sehari-hari.
Lalu bagaimana hubungannya dengan pengandaian tuan dan hamba pada ayat berikutnya? Mari kita cermati. Iman sebesar biji sesawi merupakan ungkapan kerendahan hati bahwa iman kita belumlah sempurna. Gambaran kerendahan hati itu paling mudah bila diumpamakan dengan tugas dan pelayanan seorang hamba pada tuannya. Seorang hamba yang menyadari diri sepenuhnya bahwa ia hanyalah seorang hamba, yang dengan tulus iklas mau melayani tuannya. Tanpa mengeluh, tanpa protes, tanpa menuntut ini itu meski tugasnya terasa berat. Ketika dengan rendah hati dia mampu mengatakan: “Aku ini hanyalah seorang hamba yang tak berguna, yang harus melakukan apa yang harus aku lalukan” (ay 10), maka seluruh beban tugasnya yang berat, akan terasa ringan. Suasana hatinya menjadi riang dan gembira, hidupnya penuh bahagia dan tetap mampu melayani tuannya dengan penuh suka cita.
Kesimpulannya, kita ini adalah hamba, dan Tuhan itu adalah tuan kita. Kita ini hanyalah hamba dihadapan Tuhan. Kalau kita mampu menyadari dengan sepenuh hati dan dengan rendah hati menyadari bahwa kita ini hanyalah seorang hamba Tuhan, yang siap sedia melayani Tuhan seturut tugas kita masing-masing, maka percayalah bahwa hidup kita akan terasa ringan, bangga dan bahagia, dan itulah iman. Prototif atau teladan orang beriman seperti itu ada pada diri Bunda Maria; “aku ini hanyalah hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Kalau kita sudah sanggup bersikap seperti itu, sempurna sudah iman kita. Tidak hanya sebesar biji sesawi, tetapi sebesar biji salak. Tidak hanya mampu memindahkan pohon ara, tetapi mampu memindahkan gunung, bahkan mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Tuhan memberkati. Berkah Dalem (AW).