Kabut tipis menggantung di lereng Merbabu ketika ratusan siswa-siswi madrasah beserta ASN Kementerian Agama Kabupaten Semarang memasuki kawasan Spekta Merbabu pada Rabu pagi, 10 Desember 2026. Udara dingin yang bercampur aroma tanah basah itu seperti memberi pesan diam bahwa hutan pegunungan selalu punya cara mengingatkan manusia untuk tidak melupakan bumi. Namun kali ini, manusia datang bukan dengan niat menguasai, melainkan belajar tentang alam, agama, dan tanggung jawab spiritual.
Di bawah naungan puncak Merbabu yang membiru, ekoteologi –sebuah gagasan yang kerap hidup dalam ruang seminar– akhirnya turun menyentuh tanah. Ia menjelma aksi nyata. Ia berubah dari wacana menjadi gerakan.
Bukan Sekadar Tanam Pohon
Kegiatan bertajuk “Ekoteologi dalam Aksi: Menanam, Merawat, dan Menghidupkan Bumi” yang diinisiasi Kemenag Kabupaten Semarang ini bukan sekadar rangkaian peringatan Hari Amal Bakti ke-80. Puluhan bibit pohon endemik Merbabu, cangkul yang berderet, dan wajah para peserta yang berembun oleh udara pagi adalah simbol dari tekad yang lebih dalam: meneguhkan kembali iman ekologis.
“Alam bukan objek untuk dieksploitasi,” tegas Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Semarang, Ta’yinul Biri Bagus Nugroho. “Menjaga bumi adalah ibadah. Alam adalah ayat-ayat Tuhan yang harus dijaga dan dimuliakan.”
Kata-kata itu sederhana tetapi mengandung arah moral yang kuat, bahwa spiritualitas menemukan wujud nyatanya bukan hanya dalam ritual, tetapi juga dalam tindakan merawat bumi.
Ketika Moderasi Beragama Bertemu Moderasi Ekologis
Dalam sambutan Wakil Bupati Semarang Dra. Hj. Nur Arifah yang dibacakan Kabag Kesra H. Asep Mulyana, S.STP. M.M., pemerintah daerah menyampaikan apresiasi kepada Kemenag Kabupaten Semarang atas inisiatif yang berhasil memadukan nilai keagamaan dengan kepedulian ekologis.
“Kemenag telah menunjukkan bahwa moderasi beragama tidak hanya berbicara tentang hubungan antarmanusia, tetapi juga tentang hubungan manusia dengan alam sebagai karunia Ilahi yang wajib dijaga,” lanjutnya.

Ini adalah perspektif penting, bahwa keberagamaan bukan hanya mengenai toleransi sosial, tetapi juga tanggung jawab ekologis. Bahwa iman tidak hanya diuji dalam kehidupan sosial, tetapi juga dalam bagaimana kita memperlakukan bumi.
Merawat Bumi, Merawat Warisan
Tak jauh dari tempat apel dilaksanakan, tim Balai Taman Nasional Gunung Merbabu telah menyiapkan bibit-bibit pohon endemik yang akan ditanam dan dirawat. Kepala Balai, Dr. Anggit Haryoso, S.Hut., M.Sc., menegaskan bahwa penanaman ini bukan seremonial tahunan, melainkan bagian dari pemulihan ekosistem yang membutuhkan kesabaran panjang.
“Penanaman tahun lalu adalah penanaman bersama,” ujarnya. “Tahun ini adalah tahun pertama pemeliharaan. Semoga tahun berikutnya kita bisa melanjutkan pemeliharaan tahun kedua.”

Setiap peserta kemudian turut meninjau kembali pohon-pohon yang ditanam pada HAB tahun sebelumnya. Sebagian tumbuh subur, sebagian lain mati dan harus diganti. Di titik inilah para peserta memahami bahwa karya ekologis tidak pernah selesai hanya dengan upacara tanam. Merawat bumi adalah perjalanan panjang berkesinambungan.
Usai penanaman, puluhan burung kemudian dilepasliarkan ke alam sebagai simbol mengembalikan keseimbangan ekologis. Syair shalawat yang dilantunkan peserta menjadi pengiring spiritual bagi sayap-sayap kecil yang terbang menuju kebebasannya.
Di sisi lain kawasan, rombongan lain mulai bergerak menyusuri aliran sungai di sekitar area penanaman. Mereka membawa karung sampah, penjepit, dan sarung tangan.
Setiap sampah yang terambil, setiap plastik yang diangkat dari aliran air, terasa seperti pengakuan dosa dan sekaligus pengampunan ekologis. Membersihkan sungai, dalam tradisi Islam, bukan sekadar etika sanitasi; ia adalah wujud iman.
Ekoteologi: Ketika Ajaran Agama Menyentuh Tanah
Kegiatan diakhiri dengan sesi refleksi ekoteologi. Sebuah sesi kontemplatif yang tak biasa digelar dalam program kantor pemerintahan. Namun siang itu, para peserta duduk melingkar sambil memandang bukit-bukit hijau, seakan alam sedang mengajar.
“Konsep ekoteologi yang digagas Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar bukan sekadar jargon,” ujar Mas Kakan, sapaan akrab Kepala Kankemenag Kabupaten Semarang. “Konsep ini berangkat dari lima prinsip utama: tauhid, khalifah, amanah, ‘adl, dan mizan.”
Mas Kakan mengutip ayat QS. Ar-Rum: 41 yang menggema kuat dalam situasi krisis iklim hari ini:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia.”
Sementara Kepala KUA Kecamatan Pabelan, Abdul Ghofur, S.H.I., menambahkan perspektif yang sederhana tetapi menyentuh akar ajaran Islam:
“Menanam pohon adalah sedekah. Menjaga sungai adalah ibadah. Mengurangi sampah adalah bagian dari ihsan kepada seluruh makhluk.”

Kata-kata itu sederhana, namun berakar pada tradisi panjang Islam: al-ihsan, tathahhur, amanah, dan khalifah.
Rasulullah SAW bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا… إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon, kecuali menjadi sedekah baginya…” (HR. Bukhari)
Refleksi ini mengingatkan seluruh peserta bahwa ekoteologi adalah cara mengembalikan keseimbangan spiritual manusia dengan alam. Bahwa menjaga bumi bukan isu teknis, tetapi bagian dari kesalehan ekologis.
Dari Merbabu untuk Indonesia
Ketika acara usai, hamparan Merbabu tetap sama: hijau, dingin, dan tenang. Namun para peserta pulang membawa sesuatu yang berbeda. Sebuah kesadaran baru, yang mungkin selama ini terlupakan: bahwa bumi bukan sekadar tempat untuk ditinggali, tetapi amanah untuk dijaga.
Di tengah krisis iklim yang terus memburuk, langkah-langkah kecil seperti menanam pohon, merawat kembali tanaman lama, membersihkan sungai, dan melepas satwa liar memiliki makna besar.
Ekoteologi dalam aksi yang digelar Kemenag Kabupaten Semarang bukan sekadar kegiatan seremonial; ia adalah manifestasi spiritualitas yang konkret, yang menghadirkan nilai ilahi dalam tindakan sehari-hari.
Dan pagi di Merbabu itu membuktikan satu hal: ketika manusia berhenti sejenak untuk mendengarkan suara alam sekitarnya, di situlah ia kembali menemukan Tuhannya.

Penulis: Arief Rahman Hakim
Fotografer: Kresna Raditya Agung
Beranda
Profil
Satker
PPID












